"Pemkot Malang seharusnya mengapresiasikan kinerja para GTT dengan melaksanakan tes CPNS secara terpisah dan bukan bersaing dengan pelamar CPNS yang baru," ucap Wakil Ketua III DPRD Kota Malang itu.

Alasannya, sebagian dari mereka sudah tua dan telah menjadi GTT lebih dari 10 tahun, karena itu, sangat tidak manusiawi jika untuk mendapatkan kursi PNS harus bersaing dengan mereka yang "fresh graduate" atau "kinyis-kinyis."

"Alasan pemkot terkait dengan PP 48/2005 itu sangat tidak rasional, sebab sesuai dengan mandat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, maka PP itu harus dimaknai secara terbuka. Artinya, PP itu tidak menutup kesempatan bagi GTT untuk menjadi honorer. Pemkot telah mengartikan lain, sebab adanya PP itu dijadikan alasan sebagai penghambat para GTT menjadi honorer," tuturnya.

Alasan minimnya anggaran, ujar kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut, perlu dihitung lagi. "Saya rasa jika dihitung-hitung, APBD Pemkot Malang sangat cukup untuk menggaji para GTT," ungkapnya.

Buktinya, kalkulasi total APBD Kota Malang pada tahun 2010 mencapai Rp 844 miliar, jika dipergunakan menggaji GTT, maka setiap GTT akan mendapatkan uang tunjangan sebesar Rp300 ribu per bulan, maka jika dikalkulasi setiap tahun akan mengeluarkan biaya tunjangan GTT mencapai Rp3.110.400.000,00 (Rp3,1 miliar) per tahun.

"Hal itu sangat kecil bila dibandingkan dengan APBD yang dikeluarkan untuk pembinaan olahraga di Kota Malang, yakni sebesar Rp20 miliar per tahun," papar lelaki kelahiran Ponorogo, 29 Nopember 1969 tersebut.

Oleh karena itu, ia berjanji akan memperjuangkan nasib mereka, karena kontribusi GTT sangat besar dalam membangun Sumber Daya Manusia (SDM) Kota Malang yang cerdas.

"Kontribusi para guru sangat jelas potisif bagi pembangunan pendidikan di Kota Malang dan mereka sudah lama bekerja mendarmabaktikan ilmunya bagi kemajuan bangsa ini, tapi mengapa kok masih dipersulit untuk menjadi honorer ?," kilahnya.

Tidak hanya itu, dirinya juga akan terus melakukan koordinasi dengan para legislator di DPR RI guna meninjau ulang PP Nomor 43 Tahun 2007 yang menggantikan PP Nomor 48 tahun 2005 dengan berlandaskan aspirasi dari para GTT yang masuk.

"Sebelum saya berhenti menjadi anggota legislatif, saya masih merasa mempunyai amanah atau beban memperjuangkan GTT yang hingga hari ini belum jelas statusnya," tukasnya.